Perihal penurunan nilai mata uang rupiah terhadap Dolar Amerika, banyak orang yang berpikir positif dengan mengatakan bahwa Rupiah bukan yang terburuk dalam hal keterpurukannya. Rubel Rusia yang jauh lebih terkapar. Buat saya, berpikir positif saja tidak cukup kalau tidak diimbangi dengan nalar yang tertib. Kalau hanya membandingkan dengan Negara lain, lalu apa untungnya buat Negara kita? Apakah bahwa kalau ada tetangga yang lebih menderita dari kita lalu kita bersyukur bahwa kita tidak semenderita mereka, lalu kita tersenyum dan semua menjadi baik-baik saja? Betul sekali, kalau itu adalah sebagai cerita sinetron murahan yang memanjakan perasaan anda.
Buat saya, dalam hal terpuruknya mata uang rupiah, tidak ada hubungannya dengan penderitaan Negara lain karena terpuruk lebih parah. Bukan urusan kita untuk memikirkan pekerjaan rumah mereka. Faktanya, mereka ternyata segera memperbaiki keadaan dan kembali ke titik awal sebelum terpuruk. Bahkan menjadi lebih kuat karena belajar dari keterpurukan mereka.
Sejak krisis ekonomi (moneter) 1997 yang melanda banyak Negara di dunia, mungkin yang sampai sekarang masih terdampak hanya Negara kita, Indonesia. Saat Negara lain, yang juga pada masa itu terdampak, sudah kembali ke titik awal sebelum krisis, lalu memperbaiki keadaan negaranya masing-masing, Indonesia masih saja berkutat di nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika yang tidak pernah kembali ke titik awal sebelum krisis, bahkan semakin memburuk. Setiap saat angka psikologis Rupiah terhadap USD semakin meningkat. Awalnya, setelah krisis, secara psikologis dalam benak orang Indonesia, kita akan mengalikan setiap USD dengan angka 7000 rupiah. Lalu angka tersebut naik menjadi 8000. Lalu 9000. Selanjutnya 10000 yang bertahan lumayan lama. Lalu 11000. Selanjutnya 12000. Dan sekarang, luar biasa, kita mulai memasuki era angka psikologis 13000. Artinya, setiap kita berpikir USD, maka mulai sekarang kita akan mengalikannya dengan angka 13000.
Sejak kejatuhan Presiden Suharto, rezim berganti-ganti, namun sekali lagi, indicator nilai rupiah terhadap USD tidak menunjukan perubahan positif. Apakah ini adalah gambaran ketidakbecusan pemerintah selama ini dalam hal memperbaiki pondasi ekonomi makro Negara ini? Ataukah memang kapal ini terlalu berat untuk mengejar kapal-kapal lain yang melaju sangat cepat?
Saya membayangkan bahwa dalam hal kebijakan hubungan luar negeri, rezim saat ini dibawah pimpinan Presiden Jokowi, haruslah sangat cerdik dan bijak. Buat saya, pernyataan yang disampaikan oleh PM Abbot perihal bantuan Australia pada waktu tsunami Aceh, bisa saja merupakan kode rahasia strategi politik Internasional mereka. Indonesia sangat rentan terhadap serangan senjata finansial saat ini. Anggaplah bahwa saya terlalu jauh berhayal, namun saya yakin apabila Australia menumpahkan cadangan Rupiah mereka ke Indonesia untuk menarik cadangan devisa USD kita, selesailah Indonesia. Dan saya cukup yakin bahwa Australia punya peluru Rupiah tersebut. Contoh sederhana, satu orang agen Australia ingin menukar 1 Triliun Rupiah menjadi USD, lalu menghubungi beberapa money changer dan bank. Selanjutnya money changer dan bank akan menghubungi kolega-kolega mereka karena pasti tidak punya cadangan USD sebanyak itu, lalu terjadi efek penyebaran informasi atas permintaan USD dalam jumlah besar yang mempengaruhi para spekulan untuk turut serta membeli USD. Akhirnya membumbunglah nilai USD terhadap rupiah. Dan menangislah kita.
Saran saya untuk pemimpin rezim saat ini, jangan gegabah tidak peduli dengan diplomasi internasional, bersikaplah bijak dalam situasi moneter Negara yang fondasi ekonomi makronya belum cukup tangguh saat ini. Cuci tangan sajalah untuk hal eksekusi para terpidana mati, seperti yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya. Bereskan dulu saja pertikaian memalukan antar institusi yang notabene adalah eksekutor pencabut nyawa para terhukum mati. Berprestasilah dengan menurunkan angka psikologis Rupiah terhadap USD, paling tidak kembali ke 10 ribu, kalau belum bisa kembali ke sebelum krisis moneter 1997.
Salam.
Buat saya, dalam hal terpuruknya mata uang rupiah, tidak ada hubungannya dengan penderitaan Negara lain karena terpuruk lebih parah. Bukan urusan kita untuk memikirkan pekerjaan rumah mereka. Faktanya, mereka ternyata segera memperbaiki keadaan dan kembali ke titik awal sebelum terpuruk. Bahkan menjadi lebih kuat karena belajar dari keterpurukan mereka.
Sejak krisis ekonomi (moneter) 1997 yang melanda banyak Negara di dunia, mungkin yang sampai sekarang masih terdampak hanya Negara kita, Indonesia. Saat Negara lain, yang juga pada masa itu terdampak, sudah kembali ke titik awal sebelum krisis, lalu memperbaiki keadaan negaranya masing-masing, Indonesia masih saja berkutat di nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika yang tidak pernah kembali ke titik awal sebelum krisis, bahkan semakin memburuk. Setiap saat angka psikologis Rupiah terhadap USD semakin meningkat. Awalnya, setelah krisis, secara psikologis dalam benak orang Indonesia, kita akan mengalikan setiap USD dengan angka 7000 rupiah. Lalu angka tersebut naik menjadi 8000. Lalu 9000. Selanjutnya 10000 yang bertahan lumayan lama. Lalu 11000. Selanjutnya 12000. Dan sekarang, luar biasa, kita mulai memasuki era angka psikologis 13000. Artinya, setiap kita berpikir USD, maka mulai sekarang kita akan mengalikannya dengan angka 13000.
Sejak kejatuhan Presiden Suharto, rezim berganti-ganti, namun sekali lagi, indicator nilai rupiah terhadap USD tidak menunjukan perubahan positif. Apakah ini adalah gambaran ketidakbecusan pemerintah selama ini dalam hal memperbaiki pondasi ekonomi makro Negara ini? Ataukah memang kapal ini terlalu berat untuk mengejar kapal-kapal lain yang melaju sangat cepat?
Saya membayangkan bahwa dalam hal kebijakan hubungan luar negeri, rezim saat ini dibawah pimpinan Presiden Jokowi, haruslah sangat cerdik dan bijak. Buat saya, pernyataan yang disampaikan oleh PM Abbot perihal bantuan Australia pada waktu tsunami Aceh, bisa saja merupakan kode rahasia strategi politik Internasional mereka. Indonesia sangat rentan terhadap serangan senjata finansial saat ini. Anggaplah bahwa saya terlalu jauh berhayal, namun saya yakin apabila Australia menumpahkan cadangan Rupiah mereka ke Indonesia untuk menarik cadangan devisa USD kita, selesailah Indonesia. Dan saya cukup yakin bahwa Australia punya peluru Rupiah tersebut. Contoh sederhana, satu orang agen Australia ingin menukar 1 Triliun Rupiah menjadi USD, lalu menghubungi beberapa money changer dan bank. Selanjutnya money changer dan bank akan menghubungi kolega-kolega mereka karena pasti tidak punya cadangan USD sebanyak itu, lalu terjadi efek penyebaran informasi atas permintaan USD dalam jumlah besar yang mempengaruhi para spekulan untuk turut serta membeli USD. Akhirnya membumbunglah nilai USD terhadap rupiah. Dan menangislah kita.
Saran saya untuk pemimpin rezim saat ini, jangan gegabah tidak peduli dengan diplomasi internasional, bersikaplah bijak dalam situasi moneter Negara yang fondasi ekonomi makronya belum cukup tangguh saat ini. Cuci tangan sajalah untuk hal eksekusi para terpidana mati, seperti yang dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya. Bereskan dulu saja pertikaian memalukan antar institusi yang notabene adalah eksekutor pencabut nyawa para terhukum mati. Berprestasilah dengan menurunkan angka psikologis Rupiah terhadap USD, paling tidak kembali ke 10 ribu, kalau belum bisa kembali ke sebelum krisis moneter 1997.
Salam.