Pembicaraan dan penekanan berita belakangan ini sedang ramai berkisar tentang pengurangan subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah beberapa hari lalu. Kelompok reaksional masih terus bergerak bukan saja dengan demo tapi juga melalui komentar-komentar dan pemikiran mereka, baik itu dari yang condong pro maupun kontra. Faktanya, palu sudah diketuk, dan atas nama penghematan, keadilan yang merata ataupun potensi penggunaan dana sisa hasil pengurangan subsidi, seperti kata Presiden Jokowi, naiknyapun hanya sedikit, 2000 rupiah saja,
Saya sendiri tidak tertarik untuk membicarakan angka-angka, baik itu angka rupiah kenaikan, angka penghematan, angka potensi inflasi, angka pertambahan jumlah kemiskinan, ataupun angka jumlah infrastruktur atau program-program yang di atas kertas bisa dibuat dari sisa hasil pengurangan subsidi BBM tersebut. Namun saya ingin mengamati framework berpikir dari rezim saat ini tentang dialektika subsidi, khususnya subsidi BBM.
Ada baiknya kita belajar dari sejarah juga, supaya kita bisa lebih baik lagi dalam merencanakan masa depan dan menghindari jebakan-jebakan dari kesalahan dalam memutuskan suatu kebijakan publik.
Dalam rezim sebelumnya, kebijakan pengurangan/peghapusan subsidi sudah pernah dilakukan bahkan beberapa kali. Salah satunya adalah pada zaman rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto. Mengapa saya mengamati rezim ini sebagai pembanding adalah karena setelah rezim ini saya tidak melihat perubahan paradigm yang signifikan dalam dialektika subsidi dalam setiap rezim setelah orde baru.
Masih kuat dalam ingatan saya ketika Tuan Camdessus berdiri melipat tangannya saat Pak Harto menandatangani perjanjian dengan IMF dalam mendapatkan dana bailout untuk membayar hutang Indonesia yang membumbung karena krisis moneter. Mungkin inilah kesedihan mendalam yang dirasakan oleh Pak Harto ketika tanpa daya atas desakan IMF harus menghapuskan semua bentuk subsidi untuk rakyat dan industry termasuk industry strategis Indonesia sebagai syarat perjanjian pada tahun 1998 lalu. Dampaknya dirasakan sampe sekarang dimana rupiah tidak pernah menguat signifikan lagi.
Menjelang era tinggal landas masa itu, tahun 1995 Indonesia menjadi Negara yang membuat ngeri dunia termasuk Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Industri strategi pesawat terbang IPTN yang berhasil memproduksi dan siap menjual pesawat CN-235, PT. PINDAD yang dengan gagah perkasa berhasil menciptakan prototype rudal darat-udara dan perlengkapan alutsista, bangkitnya industry perkapalan Indonesia (PT. PAL), PT Industri Kereta Api yang memproduksi kereta api nasional, proyek mobnas (Malio), swasembada pangan, kekuatan skema industry inti-plasma, stabilitas ekonomi makro, semuanya menjadi ancaman bagi hegemoni Negara-negara barat, dan harus dihancurleburkan. Dengan terpaan krisis moneter secara tiba-tiba (terskenariokan) yang mengorbankan ekonomi regional Asean saja ternyata tidak cukup membuat goyah ekonomi dan rezim pada masa itu, meskipun cukup membuat syok.
Sebelum dampak krisis regional tersebut berlalu dan Indonesia akan bangkit lagi, harus ada serangan kedua yang dilakukan, yaitu mengambil fundamental peran pemerintah untuk stabilitas ekonomi dan industry yang berupa subsidi untuk rakyat dan industry termasuk subsidi BBM. Akhirnya dengan tanpa daya pemimpin rezim saat itu harus menyetujui penghapusan segala macam subsidi dari Negara untuk rakyat dan industrinya, dibawah ancaman untuk dibangkrutkan karena nilai rupiah yang dibuat merosot sangat tajam dengan menghadapi kewajiban membayar hutang dalam bentuk Dolar Amerika.
Hanya sedikit sisa subsidi yang berhasil dipertahankan Pak Harto kala itu, yaitu subsidi bbm yang sebesar 30% saja dari nilai subsidi sebelumnya. Saya membayangkan, sebagai pemimpin Negara beliau tahu persis bahwa apa yang bangsa ini bangun selama ini akan hancur dan cita-cita tinggal landas tidak akan pernah tercapai. Namun demikian dengan sisa 30% subsidi bbm tadi paling tidak membuat rakyat sedikit terbantu ditengah keterpurukannya.
Sementara itu, Negara lain seperti Malaysia dan Thailand tidak pernah mendapatkan tekanan sebesar Indonesia dari IMF dalam hal pengurangan/penghapusan subsidi, termasuk subsidi BBM di Negara masing-masing.
Demikianlah maka sampai saat ini kita dapati bahwa industry strategis Indonesia tidak pernah bangkit lagi, nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak pernah kembali normal, swasembada pangan tidak pernah terjadi lagi, kesenjangan ekonomi semakin tinggi, dan Indonesia tidak lagi jaya. Sementara itu Negara lain yang terimbas juga oleh krisis moneter 1997-1998 sudah kembali ke track tinggal landas mereka masing-masing.
Satu hal yang menjadi kealergian dari skema kapitalis adalah peran pemerintah dalam bentuk subsidi kepada masyarakat dan industrinya, dalam konteks ketahanan ekonomi Negara. Ini berbeda dengan yang dimaksudkan sebagai “tunjangan”, dimana itu adalah kewajiban sosial Negara kepada rakyatnya dalam konteks kesejahteraan sosial. Subsidi harus diberikan oleh Negara supaya secara makro terjadi perputaran dan stabilitas ekonomi.
Sampai saat inipun saya masih belum menemukan nalar yang tepat ketika untuk alasan keadilan pemberian subsidi diartikan harus sama rata sama rasa (sebagai terjemahan lain dari penampakan data bahwa subsidi bbm selama ini salah sasaran karena justru kaum menengah keatas yang menerima lebih banyak), dimana semua harus menerima dengan nilai yang sama. Faktanya, para penerima subsidi terbesar, yang di klaim sebagai kelompok menegah ke atas, adalah para pembayar pajak atau pemberi pekerjaan, ataupun pembeli/pengguna produk kalangan menegah ke bawah, yang memberikan pengembalian fasilitas subsidi yang mereka terima kepada Negara berupa pajak dan lapangan pekerjaan (upah untuk karyawan) maupun SDM berdaya saing.
Demikian pula kalau idenya adalah penghematan. Jelas sekali tergambar bahwa ini artinya pemberian subsidi memang tidak atas dasar perencanaan pembangunan ekonomi makro tapi hanya sekedar sedekah bagi rakyat. Kalau ini yang terjadi, maka bisa dipahami bahwa rezim saat ini memang harus mempersiapkan kail pembangunan untuk rakyatnya dan bukan ikan.
Kembali ke sejarah, secara gradual rezim orde baru dibawah kepemimpinan Pak Harto, juga mengurangi subsidi, namun itu dilakukan dengan perhitungan bahwa akonomi makro sudah menaik dan rakyat siap menerima pengurangan subsidi. Perhitungan seperti ini jelas sangat berbeda dengan itikad pengurangan subsidi untuk penghematan anggaran karena subsidi yang dimaksudkan pada saat itu adalah untuk membangun fundamental ekonomi makro yang kuat.
Lalu bagaimana dengan pengalihan anggaran subsidi untuk pembangunan infrastruktur yang berguna bagi rakyat banyak?
Untuk hal ini, sejujurnya saya masih mencoba memahami change process nya dari kacamata pemrograman dan penganggaran pembangunan dengan kebijakan fiscal dan moneter Negara. Artinya apakah pengalihan ini bisa serta merta dilakukan tanpa melanggar konstitusi, atau melalui mekanisme Anggaran Perubahan, atau skema-skema lainnya. Namun dalam benak saya, ini juga menarik, karena apabila subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur seperti yang digadang-gadang, misalnya jalan tol maupun non-tol, atau bandara, atau jembatan dll, maka sepertinya akan menjadi paradox karena pengguna infrastruktur tersebut nantinya kebanyakan adalah juga masyarakat menengah ke atas yang mobilitas dan fasilitas pribadinya jauh lebih tinggi. Disamping, sejujurnya saya belum mendapatkan data akurat bahwa setiap terjadi pengurangan subsidi (kenaikan harga bbm) dengan alasan pengalihan penggunaan dana, tidak pernah ada infrastruktur baru yang terbangun. Kalaupun ada, pasti bukan dari dana pengalihan tapi dari dana investasi atau pinjaman infrastruktur dengan skema RPJP/M.
Sementara itu, kalau pengalihannya untuk menjadi bentuk tunjangan sosial bagi masyarakat miskin, bukankah program-program pengentasan kemiskinan, yang menjadi domain berbeda dari pembangunan infrastruktur pun sampai saat ini belum bekerja optimal, bahkan pada level data kemiskinan sekalipun?.
Kembali ke dialektika subsidi, saya masih belajar dari sejarah dan framework berpikir pemerintah masing-masing rezim. Namun yang perlu dicermati adalah bagaimana para ekonom Indonesia saat ini beralur pikir barat yang cenderung kapitalis, mungkin karena memang belajarnya dari barat, sehingga mungkin saja menjadi alergi dengan subsidi, sealergi kaum kapitalis terhadap subsidi karena membuat ekspansi industry mereka terhalangi. Diluar itu, isu lingkungan karena polusi bertambah dari mobil yang menggunakan bbm subsidi dan isu-isu lainnya, sampai saat ini saya berpikir sepertinya itu hanya bumbu pelengkap ide saja. Atau mungkin juga karena mereka dan saya memiliki perspektif yang berbeda tentang subsidi ini. Buat saya, subsidi adalah tool yang sangat kuat untuk pemantapan stabilitas ekonomi makro kalau digunakan dengan tepat dan terencana.
Namun demikian, saya masih terus ingin memahami lebih jauh nalar dari dialektika subsidi tersebut. Mohon pencerahan dari para pakar.
Salam
Saya sendiri tidak tertarik untuk membicarakan angka-angka, baik itu angka rupiah kenaikan, angka penghematan, angka potensi inflasi, angka pertambahan jumlah kemiskinan, ataupun angka jumlah infrastruktur atau program-program yang di atas kertas bisa dibuat dari sisa hasil pengurangan subsidi BBM tersebut. Namun saya ingin mengamati framework berpikir dari rezim saat ini tentang dialektika subsidi, khususnya subsidi BBM.
Ada baiknya kita belajar dari sejarah juga, supaya kita bisa lebih baik lagi dalam merencanakan masa depan dan menghindari jebakan-jebakan dari kesalahan dalam memutuskan suatu kebijakan publik.
Dalam rezim sebelumnya, kebijakan pengurangan/peghapusan subsidi sudah pernah dilakukan bahkan beberapa kali. Salah satunya adalah pada zaman rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto. Mengapa saya mengamati rezim ini sebagai pembanding adalah karena setelah rezim ini saya tidak melihat perubahan paradigm yang signifikan dalam dialektika subsidi dalam setiap rezim setelah orde baru.
Masih kuat dalam ingatan saya ketika Tuan Camdessus berdiri melipat tangannya saat Pak Harto menandatangani perjanjian dengan IMF dalam mendapatkan dana bailout untuk membayar hutang Indonesia yang membumbung karena krisis moneter. Mungkin inilah kesedihan mendalam yang dirasakan oleh Pak Harto ketika tanpa daya atas desakan IMF harus menghapuskan semua bentuk subsidi untuk rakyat dan industry termasuk industry strategis Indonesia sebagai syarat perjanjian pada tahun 1998 lalu. Dampaknya dirasakan sampe sekarang dimana rupiah tidak pernah menguat signifikan lagi.
Menjelang era tinggal landas masa itu, tahun 1995 Indonesia menjadi Negara yang membuat ngeri dunia termasuk Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Industri strategi pesawat terbang IPTN yang berhasil memproduksi dan siap menjual pesawat CN-235, PT. PINDAD yang dengan gagah perkasa berhasil menciptakan prototype rudal darat-udara dan perlengkapan alutsista, bangkitnya industry perkapalan Indonesia (PT. PAL), PT Industri Kereta Api yang memproduksi kereta api nasional, proyek mobnas (Malio), swasembada pangan, kekuatan skema industry inti-plasma, stabilitas ekonomi makro, semuanya menjadi ancaman bagi hegemoni Negara-negara barat, dan harus dihancurleburkan. Dengan terpaan krisis moneter secara tiba-tiba (terskenariokan) yang mengorbankan ekonomi regional Asean saja ternyata tidak cukup membuat goyah ekonomi dan rezim pada masa itu, meskipun cukup membuat syok.
Sebelum dampak krisis regional tersebut berlalu dan Indonesia akan bangkit lagi, harus ada serangan kedua yang dilakukan, yaitu mengambil fundamental peran pemerintah untuk stabilitas ekonomi dan industry yang berupa subsidi untuk rakyat dan industry termasuk subsidi BBM. Akhirnya dengan tanpa daya pemimpin rezim saat itu harus menyetujui penghapusan segala macam subsidi dari Negara untuk rakyat dan industrinya, dibawah ancaman untuk dibangkrutkan karena nilai rupiah yang dibuat merosot sangat tajam dengan menghadapi kewajiban membayar hutang dalam bentuk Dolar Amerika.
Hanya sedikit sisa subsidi yang berhasil dipertahankan Pak Harto kala itu, yaitu subsidi bbm yang sebesar 30% saja dari nilai subsidi sebelumnya. Saya membayangkan, sebagai pemimpin Negara beliau tahu persis bahwa apa yang bangsa ini bangun selama ini akan hancur dan cita-cita tinggal landas tidak akan pernah tercapai. Namun demikian dengan sisa 30% subsidi bbm tadi paling tidak membuat rakyat sedikit terbantu ditengah keterpurukannya.
Sementara itu, Negara lain seperti Malaysia dan Thailand tidak pernah mendapatkan tekanan sebesar Indonesia dari IMF dalam hal pengurangan/penghapusan subsidi, termasuk subsidi BBM di Negara masing-masing.
Demikianlah maka sampai saat ini kita dapati bahwa industry strategis Indonesia tidak pernah bangkit lagi, nilai tukar rupiah terhadap dolar tidak pernah kembali normal, swasembada pangan tidak pernah terjadi lagi, kesenjangan ekonomi semakin tinggi, dan Indonesia tidak lagi jaya. Sementara itu Negara lain yang terimbas juga oleh krisis moneter 1997-1998 sudah kembali ke track tinggal landas mereka masing-masing.
Satu hal yang menjadi kealergian dari skema kapitalis adalah peran pemerintah dalam bentuk subsidi kepada masyarakat dan industrinya, dalam konteks ketahanan ekonomi Negara. Ini berbeda dengan yang dimaksudkan sebagai “tunjangan”, dimana itu adalah kewajiban sosial Negara kepada rakyatnya dalam konteks kesejahteraan sosial. Subsidi harus diberikan oleh Negara supaya secara makro terjadi perputaran dan stabilitas ekonomi.
Sampai saat inipun saya masih belum menemukan nalar yang tepat ketika untuk alasan keadilan pemberian subsidi diartikan harus sama rata sama rasa (sebagai terjemahan lain dari penampakan data bahwa subsidi bbm selama ini salah sasaran karena justru kaum menengah keatas yang menerima lebih banyak), dimana semua harus menerima dengan nilai yang sama. Faktanya, para penerima subsidi terbesar, yang di klaim sebagai kelompok menegah ke atas, adalah para pembayar pajak atau pemberi pekerjaan, ataupun pembeli/pengguna produk kalangan menegah ke bawah, yang memberikan pengembalian fasilitas subsidi yang mereka terima kepada Negara berupa pajak dan lapangan pekerjaan (upah untuk karyawan) maupun SDM berdaya saing.
Demikian pula kalau idenya adalah penghematan. Jelas sekali tergambar bahwa ini artinya pemberian subsidi memang tidak atas dasar perencanaan pembangunan ekonomi makro tapi hanya sekedar sedekah bagi rakyat. Kalau ini yang terjadi, maka bisa dipahami bahwa rezim saat ini memang harus mempersiapkan kail pembangunan untuk rakyatnya dan bukan ikan.
Kembali ke sejarah, secara gradual rezim orde baru dibawah kepemimpinan Pak Harto, juga mengurangi subsidi, namun itu dilakukan dengan perhitungan bahwa akonomi makro sudah menaik dan rakyat siap menerima pengurangan subsidi. Perhitungan seperti ini jelas sangat berbeda dengan itikad pengurangan subsidi untuk penghematan anggaran karena subsidi yang dimaksudkan pada saat itu adalah untuk membangun fundamental ekonomi makro yang kuat.
Lalu bagaimana dengan pengalihan anggaran subsidi untuk pembangunan infrastruktur yang berguna bagi rakyat banyak?
Untuk hal ini, sejujurnya saya masih mencoba memahami change process nya dari kacamata pemrograman dan penganggaran pembangunan dengan kebijakan fiscal dan moneter Negara. Artinya apakah pengalihan ini bisa serta merta dilakukan tanpa melanggar konstitusi, atau melalui mekanisme Anggaran Perubahan, atau skema-skema lainnya. Namun dalam benak saya, ini juga menarik, karena apabila subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur seperti yang digadang-gadang, misalnya jalan tol maupun non-tol, atau bandara, atau jembatan dll, maka sepertinya akan menjadi paradox karena pengguna infrastruktur tersebut nantinya kebanyakan adalah juga masyarakat menengah ke atas yang mobilitas dan fasilitas pribadinya jauh lebih tinggi. Disamping, sejujurnya saya belum mendapatkan data akurat bahwa setiap terjadi pengurangan subsidi (kenaikan harga bbm) dengan alasan pengalihan penggunaan dana, tidak pernah ada infrastruktur baru yang terbangun. Kalaupun ada, pasti bukan dari dana pengalihan tapi dari dana investasi atau pinjaman infrastruktur dengan skema RPJP/M.
Sementara itu, kalau pengalihannya untuk menjadi bentuk tunjangan sosial bagi masyarakat miskin, bukankah program-program pengentasan kemiskinan, yang menjadi domain berbeda dari pembangunan infrastruktur pun sampai saat ini belum bekerja optimal, bahkan pada level data kemiskinan sekalipun?.
Kembali ke dialektika subsidi, saya masih belajar dari sejarah dan framework berpikir pemerintah masing-masing rezim. Namun yang perlu dicermati adalah bagaimana para ekonom Indonesia saat ini beralur pikir barat yang cenderung kapitalis, mungkin karena memang belajarnya dari barat, sehingga mungkin saja menjadi alergi dengan subsidi, sealergi kaum kapitalis terhadap subsidi karena membuat ekspansi industry mereka terhalangi. Diluar itu, isu lingkungan karena polusi bertambah dari mobil yang menggunakan bbm subsidi dan isu-isu lainnya, sampai saat ini saya berpikir sepertinya itu hanya bumbu pelengkap ide saja. Atau mungkin juga karena mereka dan saya memiliki perspektif yang berbeda tentang subsidi ini. Buat saya, subsidi adalah tool yang sangat kuat untuk pemantapan stabilitas ekonomi makro kalau digunakan dengan tepat dan terencana.
Namun demikian, saya masih terus ingin memahami lebih jauh nalar dari dialektika subsidi tersebut. Mohon pencerahan dari para pakar.
Salam