Kegiatan bisnis saya biasanya menuntut saya untuk bepergian ke luar kota, luar pulau atau bahkan ke luar negeri. Biasanya inilah waktu yang paling saya sukai untuk saya menghabiskan buku bacaan saya yang sering kali tertunda karena kesibukan. Salah satu buku yang sudah lama terbengkalai untuk saya baca adalah buku karangan “William H. Davidow” berjudul “Overconnected: The Promise and Threat of the Internet”. Intinya, dia menyatakan betapa teknologi internet dan aplikasi serta konten yang menyertainya membuat kita cepat menyatu dan terkoneksi dengan orang lain. Dalam hal ini termasuk dibahas juga mengenai keuntungannya seperti efisiensi dan efektifitas, serta bahayanya seperti keterbukaan informasi pribadi dan kejahatan-kejahatan yang bisa terjadi melalui teknologi informasi.
Selesai saya membaca buku ini, saya mulai berfikir bahwa banyak sekali perubahan yang terjadi dalam produk-produk budaya dalam masyarakat yang diakibatkan oleh cepatnya informasi yang difasilitasi oleh internet. Produk-produk budaya seperti musik, film, fashion, kuliner, gaya hidup dan lain sebagainya sekarang dapat dengan mudah menembus batas wilayah yang bukan hanya negara tapi bahkan sampai ke dalam rumah. Hal ini selalu menjadi kontroversi dalam pemikiran dan perbincangan para pakar sosial terutama yang berhubungan dengan pendidikan, ekonomi dan kesehatan, dimana dipercaya bahwa setiap bangsa memiliki kebudayaannya masing-masing secara khusus yang merupakan kristalisasi dari akar keberadaan dan kearifan bangsa tersebut. Seorang teman budayawan pernah mengatakan bahwa produk-produk kebudayaan bisa berubah rupa dan rasa, akan tetapi hanya masyarakat pemilik kebudayaan tersebut sajalah yang bisa menghilangkan kebudayaannya sendiri. Pilihannya adalah mengembangkan atau menghilangkan kebudayaannya.
Menarik bagi saya untuk memikirkan perilaku masyarakat Indonesia yang memiliki budaya mudah dan terbuka untuk berkoneksi dengan orang lain (open connectivity), silaturahmi dan kekerabatan yang erat termasuk di jaman informasi sangat cepat saat ini. Penggabungan budaya dan kekuatan teknologi informasi ini memungkinkan bagi persoalan kecil dan sederhana untuk bisa saja dengan cepat menjadi masalah nasional. Demikian pula sebaliknya, informasi-informasi yang bersifat nasionalpun akan cepat didistribusikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kita bereaksi terhadap informasi-informasi tersebut, karena sering kali koneksi virtual tidak bisa menunjukan nilai rasa sebaik yang terjadi dalam tatap muka.
Sebagai manusia, kita perlu terhubung dengan orang lain untuk berkembang. Manusia bukanlah mesin. Kita harus mengembangkan keintiman, kepercayaan dan kasih sayang dengan sesama anggota keluarga kita, teman dan rekan-rekannya di tempat kerja. Kita manjadi disfungsi apabila tidak merasa perlu untuk untuk terhubung dengan orang lain. Dengan segala daya tariknya, perasaan terhubung secara virtual melalui media sosial dan jejaring sosial bisa berkembang menjadi kecanduan yang menyingkirkan waktu untuk berkoneksi tatap muka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, kita secara sadar ataupun tidak sadar bisa saja menghilangkan keperluan untuk berkoneksi secara tatap muka. Kita harus menjaga keseimbangan antara koneksi virtual dan tatap muka sebagai kunci dalam menjaga hubungan yang sehat dan saling membangun.
Luangkanlah waktu untuk menjawab dua pertanyaan ini. Apakah anda merasa over-connected secara virtual? Apakah anda kehilangan keintiman dan ketulusan dalam hubungan dengan anggota keluarga dan teman-teman karena lebih banyak menghabiskan waktu berkoneksi melalui komputer dan smart phone anda? Ada baiknya hal ini anda tanyakan juga kepada anggota keluarga atau teman-teman anda. Jika jawabannya adalah “Ya”, mungkin sudah saatnya kita mematikan komputer dan smart phone kita dan mulai untuk kembali bertatap muka.
Salam.
Selesai saya membaca buku ini, saya mulai berfikir bahwa banyak sekali perubahan yang terjadi dalam produk-produk budaya dalam masyarakat yang diakibatkan oleh cepatnya informasi yang difasilitasi oleh internet. Produk-produk budaya seperti musik, film, fashion, kuliner, gaya hidup dan lain sebagainya sekarang dapat dengan mudah menembus batas wilayah yang bukan hanya negara tapi bahkan sampai ke dalam rumah. Hal ini selalu menjadi kontroversi dalam pemikiran dan perbincangan para pakar sosial terutama yang berhubungan dengan pendidikan, ekonomi dan kesehatan, dimana dipercaya bahwa setiap bangsa memiliki kebudayaannya masing-masing secara khusus yang merupakan kristalisasi dari akar keberadaan dan kearifan bangsa tersebut. Seorang teman budayawan pernah mengatakan bahwa produk-produk kebudayaan bisa berubah rupa dan rasa, akan tetapi hanya masyarakat pemilik kebudayaan tersebut sajalah yang bisa menghilangkan kebudayaannya sendiri. Pilihannya adalah mengembangkan atau menghilangkan kebudayaannya.
Menarik bagi saya untuk memikirkan perilaku masyarakat Indonesia yang memiliki budaya mudah dan terbuka untuk berkoneksi dengan orang lain (open connectivity), silaturahmi dan kekerabatan yang erat termasuk di jaman informasi sangat cepat saat ini. Penggabungan budaya dan kekuatan teknologi informasi ini memungkinkan bagi persoalan kecil dan sederhana untuk bisa saja dengan cepat menjadi masalah nasional. Demikian pula sebaliknya, informasi-informasi yang bersifat nasionalpun akan cepat didistribusikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kita bereaksi terhadap informasi-informasi tersebut, karena sering kali koneksi virtual tidak bisa menunjukan nilai rasa sebaik yang terjadi dalam tatap muka.
Sebagai manusia, kita perlu terhubung dengan orang lain untuk berkembang. Manusia bukanlah mesin. Kita harus mengembangkan keintiman, kepercayaan dan kasih sayang dengan sesama anggota keluarga kita, teman dan rekan-rekannya di tempat kerja. Kita manjadi disfungsi apabila tidak merasa perlu untuk untuk terhubung dengan orang lain. Dengan segala daya tariknya, perasaan terhubung secara virtual melalui media sosial dan jejaring sosial bisa berkembang menjadi kecanduan yang menyingkirkan waktu untuk berkoneksi tatap muka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, kita secara sadar ataupun tidak sadar bisa saja menghilangkan keperluan untuk berkoneksi secara tatap muka. Kita harus menjaga keseimbangan antara koneksi virtual dan tatap muka sebagai kunci dalam menjaga hubungan yang sehat dan saling membangun.
Luangkanlah waktu untuk menjawab dua pertanyaan ini. Apakah anda merasa over-connected secara virtual? Apakah anda kehilangan keintiman dan ketulusan dalam hubungan dengan anggota keluarga dan teman-teman karena lebih banyak menghabiskan waktu berkoneksi melalui komputer dan smart phone anda? Ada baiknya hal ini anda tanyakan juga kepada anggota keluarga atau teman-teman anda. Jika jawabannya adalah “Ya”, mungkin sudah saatnya kita mematikan komputer dan smart phone kita dan mulai untuk kembali bertatap muka.
Salam.